Maka pelaksanaan wukufnya jamaah haji dan keberadaan tanah Arafah, tidak termasuk kedalam rukun, syarat, sabab, maupun mâni’ dari adanya perintah dan pelaksanaan puasa Arafah. Seandainya puasa Arafah dikaitkan secara langsung dengan aktivitas wukufnya jamaah haji ataupun karena keberadaan tempat Arafah, mestilah ia menjadi salah satu bagian dari terlaksananya hukum taklify.
"Apakah ia sebagai syarat, rukun, atau sabab? Atau jika tidak ada yang wukuf menjadi penghalang (mâni’) terlaksananya puasa Arafah. Pada faktanya tidak ada satupun dalil bahkan fatwa ulama sekalipun, yang menjadikan aktivitas wukuf sebagai rukun, syarat, maupun sabab pensyariatan puasa Arafah," tuturnya.
Ia melanjutkan bahwa puasa ‘Arafah sudah disyariatkan sejak tahun kedua Hijrah sedang syariat ibadah haji baru pada tahun ke enam atau ke sembilan Hijrah. Jadi selama empat atau tujuh tahun, kaum muslimin puasa ‘Arafah tanpa memperhatikan kapan jamaah haji wukuf, atau tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya yang wukuf di ‘Arafah.
"Pelaksanaan puasa ‘Arafah dengan tidak memperhatikan penanggalan setempat akan menimbulkan permasalahan baru yang lebih sulit, yaitu penentuan hari lebaran Idul Adha nya. Kalau memang ada dalil yang diperselisihkan tentang pengertian puasa ‘Arafah, apakah untuk Idul Adhanya juga harus mengikuti penanggalan Saudi?," tanyanya.
"Maka akan terjadi kekacauan penanggalan bulan Dzulhijah selanjutnya yaitu setelah tanggal sepuluh. Kecuali kalau mau konsisten untuk sepanjang tahun tidak menggunakan penanggalan negeri masing-masing tetapi menggunakan penanggalan tunggal mengikuti hasil ru’yat Saudi dengan konsekuensi negeri-negeri muslim seluruh dunia tidak akan punya kalender melainkan menunggu ketetapan ru’yat Negara Saudi pada setiap awal bulan," jelasnya.
Fakta ilmiyah juga menunjukan bahwa negeri-negeri muslim terbagi pada dua wilayah mathla’ (tempat munculnya hilal) yang terkadang berbarengan terkadang berbeda. Karena munculnya hilal tidak menetap pada posisi dan ketinggian yang sama setiap awal bulan nya.
Demikian juga perbedaan waktu antara satu negeri muslim di wilayah barat dengan negeri muslim di wilayah timur ada yang terpaut sampai 12 jam. Sementara pelaksanaan wukuf hanya sekitar enam jam, yaitu dari bada Zhuhur sampai Magrib. Sehingga jika kaum muslimin yang tinggal di sebagian benua Amerika yang beda waktunya antara tujuh sampai delapan jam, maka ia tidak dapat menunaikan ibadah puasa ‘Arafah karena pelaksanaan wukufnya sudah selesai.
"Sebaliknya kaum muslimin yang ada di Australia juga tidak bisa puasa ‘Arafah karena ketika wukuf baru mulai mereka sudah waktu malam," ujarnya.
Fakta historis bahwa selama berabad-abad lamanya kaum muslimin di dunia melaksanakan puasa Ramadhan maupun Arafah berpatokan kepada penanggalan negara masing-masing.
Sejak wafatnya Rasulullah hingga abad ke dua puluh, tidak ada satupun negeri muslim yang menyesuaikan penanggalan mereka kepada ru’yat negara Saudi, kecuali setelah diketemukannya alat komunikasi dan transformasi yang canggih sekarang ini.
Editor : Arief Munandar