LABVIRAL.COM - Media sosial Twitter ramai membicarakan dugaan revenge porn atau penyebaran pornografi karena balas dendam sekaligus pemerkosaan tanpa sadar, yang dilakukan oleh Alwi Husein Maolana yang diduga anak mantan pejabat Pandeglang Banten.
Berdasarkan kronologi yang dibeberkan oleh akun kakak dari korban @zanatul_91 dikutip pada Selasa, (27/6/2023), proses peradilan dipersulit oleh Kejaksaan Pandeglang.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten Didik Farkhan Alisyahdi pun angkat bicara.
Baca Juga: Apa Itu Revenge Porn? Diduga Dialami Rebecca Klopper, Setelah Video Syur 47 Detik Viral di Twitter
"Saya sebagai Kajati bersama Aspidum juga dengan Aswas sudah langsung klarifikasi kepada jaksa mulai dari jaksa peneliti yang ada di Kejati, sampai jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Pandeglang," ujar Didik melalui penyataan video kepada wartawan pada Selasa (27/6/2023).
"Kami belum menemukan ketidak-profesionalan karena semua sudah dilakukan sesuai hukum acara KUHAP juga semua sesuai SOP," sambung Didik.
Farkhan juga menegaskan, jika dalam perjalanannya ditemukan adanya ketidak-profesionalan, anak buahnya akan dilakukan tindakan tegas.
Namun, kata Didik, sejauh ini hanya terjadi kesalahpahaman antara keluarga korban dengan Kejari Pandeglang.
Baca Juga: Kejati Bantah Berkas Perkara Mario Dandy Bolak-balik antara Kepolisian dan Kejaksaan
"Kalau pun memang ada tindakan tidak profesionalan akan kami jatuhi sanksi. Tapi setelah mendapatkan penjelasannya hanya ada miskomunikasi di antara teman-teman (Kejari) dengan keluarga korban," sanggah Didik.
Bahkan menurut Didik, sejak awal pihak keluarga korban menginginkan terdakwa UU ITE bernama Alwi Husain Maolana dijerat dengan pasal tentang pemerkosaan.
Oleh jaksa, lanjut Didik, dianjurkan melaporkan kembali kasus dugaan pemerksoaan ke pihak kepolisian. Sebab, penyidik dari Polda Banten melimpahkan perkaranya terkait UU ITE saja.
"Memang sejak awal karena dipicu pengen pasal pemerkosaan dimasukan ke dakwaan, tapi ada prosedurnya karena memang berkas yang pertama kali baru UU ITE, kami menyarankan agar dilaporkan kembali ke kepolisian," tandasnya.
Diketahui, setelah melihat bagaimana perlakuan pelaku ke korban, keluarga korban bertindak melalui jalur persidangan di Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten.
Namun, keluarga korban mengaku tidak mendapatkan informasi mengenai jadwal sidang pertama kasus tersebut.
Baca Juga: Survei Terbaru IPO, Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap Kejagung Capai 54 Persen
Informasi persidangan baru didapat saat sidang kedua ketika korban berstatus sebagai saksi, hingga jelas bahwa keluarga dan korban tidak tahu apa dakwaan terhadap pelaku.
Lalu sebelum sidang kedua dimulai, korban dan kakak korban yang sebagai saksi dipanggil ke ruang pribadi Jaksa, lalu disuruh ambil jalan damai.
Tak hanya itu, korban sempat dihubungi seorang jaksa berinisial D yang meminta bertemu korban di kafe.
Jaksa inisial D itu mengatakan jika ingin bicara personal dengan korban, dan memintanya untuk pergi seorang diri.
Bahkan korban tidak boleh menceritakan pada siapapun mengenai pertemuan yang dimintanya tersebut.
Akan tetapi korban tidak menurutinya, dan belum jelas mengenai motif jaksa tersebut mengajak bertemu korban di luar persidangan.
"Ibu Kejari Helena kemudian meminta bukti dari pernyataan korban (adik kami) bahwa Jaksa D meminta bertemu korban (adik kami). Ketika korban (adik kami) akan memberikan bukti cuplikan gambar chat / percakapan dengan orang yang mengaku sebagai Jaksa D kepada ibu Kejari Helena dengan nomor telepon 0856 47119047, tiba-tiba chat tersebut hhilang ditarik, " kata Kakak korban melalui akun Twitternya
"Namun alhamdulilah, kami (keluarga) berhasil memotret percakapan tersebut terlebih dahulu. Sekelumit cerita ini menunjukan ada intrik tertentu dalam proses hukum yang dialami oleh adik saya selaku korban, " pungkas kakak korban.
Editor : Rozi Kurnia